Direktur Politic Social and Local Government Studies (Poslogis), Asep Toha. (Foto: Istimewa) |
SIGNALCIANJUR.COM- Cianjur diambang krisis fiskal, dokumen KUA - PPAS 2026 yang diajukan Pemkab Cianjur bukan sekadar cacat teknis, tapi berpotensi jadi skandal keuangan daerah. Defisit tembus Rp 222,1 miliar, jauh di atas batas aman.
Membuka pintu lebar-lebar bagi utang daerah yang akan membebani rakyat hingga bertahun-tahun. Ironisnya, anggaran untuk program langsung menyentuh kebutuhan rakyat justru dipangkas brutal, sementara pos-pos proyek infrastruktur yang sarat aroma pengadaan rawan korupsi, melonjak gila-gilaan.
Apakah APBD ini untuk rakyat atau untuk segelintir pihak yang bermain di balik layar?
Defisit gila-gilaan hingga cacat sejak lahir proyeksi struktur RAPBD dalam RKPD 2026 mencatat defisit Rp 758,124 miliar. Meski turun di KUA–PPAS menjadi Rp 222,137 miliar, angka ini tetap jauh di atas batas maksimal defisit yang diizinkan.
Berdasarkan Permenkeu Nomor 75 Tahun 2024 dan Nomor 127 Tahun 2024, batas defisit Cianjur hanyalah Rp 143,314 miliar atau 3,65 persen dari perkiraan pendapatan daerah Rp 3,926 triliun. Artinya, APBD ini sejak awal dirancang dalam kondisi tidak sehat.
Pasal 88 ayat (1) PP Nomor 12 Tahun 2019 jelas mengamanatkan defisit harus ditutup dari pembiayaan neto. Jika tidak, perencanaan APBD tersebut cacat hukum. Cianjur kini berada di jalur pelanggaran aturan fiskal.
Skenario Utang Daerah – Menggadaikan Masa Depan
Defisit di atas Rp 220 miliar membuka peluang lebar untuk pinjaman daerah, memanfaatkan celah Pasal 70 dan 83 PP Nomor 12 Tahun 2019. Jika skema ini dijalankan, berarti Pemkab sengaja mengikat APBD masa depan dengan cicilan dan bunga.
Dengan kondisi fiskal Cianjur yang 70–80 persen masih mengandalkan dana pusat, utang daerah adalah jebakan yang akan memeras generasi mendatang.
Proyek Naik, Program Rakyat Dipangkas
Perbandingan antara RKPD dan KUA–PPAS 2026 memperlihatkan pola mencurigakan:
Program Jalan Leucir Cai Cur Cor, dari Rp 430,567 miliar (RKPD) naik jadi Rp 466,486 miliar (PPAS)
Pembangunan 5 cluster wisata pangan dunia, Rp 98,751 miliar (RKPD) turun tipis ke Rp 64,270 miliar (PPAS)
Sementara itu, program langsung untuk rakyat justru dipangkas brutal:
Sembako Murah Pasar Makmur, dari Rp 76,746 M menjadi hanya Rp 5,930 miliar
Beasiswa dan insentif guru/dosen/tutor, dari Rp 216,020 miliar menjadi Rp 61,528 miliar
Pola ini menunjukkan program yang melibatkan pengadaan barang/jasa cenderung naik atau turun sedikit, sedangkan program tanpa pengadaan yang langsung menyentuh rakyat hingga dipotong habis-habisan.
Publik paham, titik rawan korupsi kerap terjadi di pengadaan, mulai dari mark-up harga, kontraktor titipan, hingga fee proyek.
Indikasi Pelanggaran Prosedur
Banyaknya perbedaan nilai antara RKPD dan KUA–PPAS, termasuk PAD dari retribusi daerah yang selisihnya mencapai Rp 8,9 miliar, menimbulkan tanda tanya besar.
Permendagri Nomor 10 Tahun 2025 tegas mengatur, jika ada perubahan signifikan dalam rencana anggaran, maka Perbup RKPD harus diubah terlebih dahulu. Jika langkah ini dilangkahi, maka proses penyusunan APBD 2026 berpotensi cacat hukum.
Tak Serius Mengentaskan Kemiskinan
Cianjur masih termasuk 10 besar kabupaten termiskin di Jawa Barat. Tahun 2024, 239.300 jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.
Namun, alokasi untuk pemberdayaan UMKM hanya Rp 2,992 miliar itu pun yang benar-benar sampai ke pelaku usaha cuma Rp 2,9 miliar. Dengan 60 ribu UMKM di Cianjur, tiap usaha rata-rata hanya akan mendapat Rp 48.000 lebih kecil dari harga satu tabung gas LPG 3 kilogram.
Pertanyaan yang Menggantung
APBD 2026 Cianjur kini menjadi dokumen penuh misteri dan kecurigaan. Mengapa proyek-proyek pengadaan yang rawan "permainan" justru naik, sementara program untuk rakyat dipangkas? Apakah ada skenario utang daerah untuk menutupi defisit yang sengaja dibiarkan membengkak? Yang jelas, jika DPRD dan publik membiarkan, Cianjur akan masuk ke babak baru sejarah kelam keuangan daerah yaitu rakyat dibebani, segelintir pihak berpesta. (*)
Penulis:
Direktur Politic Social and Local Government Studies (Poslogis), Asep Toha