Notification

×

Iklan

Iklan

Sungguh Miris Pernikahan Sejenis Gemparkan Cianjur (2)

12/25/2023 | 15:49 WIB Last Updated 2023-12-25T08:51:31Z
Pegiat Literasi, Aktivis Pendidikan Ina Agustiani. (Foto: Istimewa)

Penulis: Ina Agustiani 

Realita yang Terjadi

PERTANYAAN - Sering terdengar "kok bisa tidak tahu jenis kelaminnya?", terkesan mudah untuk yang memberi pertanyaan, tapi realitanya memang seperti itu. Fakta yang ada menunjukkan sistem sosial yang carut marut mengenai konsep interaksi dan konsekuensi di sistem sekarang.

Terlebih dalam Islam ada batasan dan hukum yang harus dilaksanakan setiap mukmin. Tapi apa daya, kita hidup di zaman yang hampir tak ada aturan tentang pergaulan ini.

Konsep LGBT yang digaungkan oleh barat diberi ruang untuk bisa hadir di tengah negara yang mayoritasnya muslim. 

Massifnya pemahaman mereka terhadap kebebasan berekspresi, dan ditunjang oleh teknologi, serta publik figur yang menyebarkannya dengan cepat. Orang-orang yang'sakit' di dalam hatinya punya kecenderungan yang sama merasa ada pembelaan, merasa ada yang senasib, seharunya disembuhkan malah menjadi-jadi.

Akhirnya banyaklah kaum pelangi, gay, membuat komunitas, mereka mengekspresikan apa yang diinginkannya, walaupun bertentangan dengan agama. 

Laki-laki yang menyerupai perempuan, begitupun sebaliknya perempuan menyerupai laki-laki, perempuan yang harusnya menutup aurat dengan bebasnya berpenampilan maskulin, apalagi jika ditunjang dengan obat-obatan, hormonal kelelakian dan kewanitaan akan lebih mudah berubah sesuai yang diinginkan.

Sehingga wajar jika atau mereka hampir tidak bisa membedakan ini laki-laki atau perempuan, saking miripnya. 

Prinsip kebebasan berekspresi menutup rasionalitas masyarakat, kita dipaksa memaklumi setiap penyimpangan sebagai bentuk keadaan normal. Kaum pelangi selalu melakukan playing victim, "terjebak dalam tubuh yang salah, posisinya sebagai korban, padahal, hukuman sosial dari masyarakat diabaikan. 

Jika dipahami dengan kehidupan sekuler sekarang bisa ditarik beberapa hal. Yaitu sistem sekarang memberi kebebasan individu untuk berekspresi, yang akhirnya tercipta anggapan mengekspresikan hasrat seksual dapat dilakukan oleh siapa saja dengan cara apapun. Begitupun definisi masyarakat adalah individu saja, dia hidup sendiri berbuat untuk kepentingannya sendiri tidak peduli merugikan orang lain atau tidak. Padahal kita adalah makhluk sosial, apa yang diperbuat harus sejalan dengan norma yang ada di masyarakat.
Menuntaskan dengan Cara Islam Terdapat sejumlah langkah pencegahan agar penyimpangan tidak terjadi. Jika terjadi masalah kelainan pada kelamin, sejak dini harus terindentifikasi. Yakni ketika seseorang memiliki dua kelamin (khunsa), maka para fuqaha dan ahli medis akan memproses sesuai ketentuan apalagi teknologi pesat akan dengan mudah mengatasinya. Dan dari cara pengasuhan yang basisnya fitrah. Anak laki-laki dibangun sisi kepemimpinannya, anak perempuan dididik menjadi ibu, orang tua harus peka terhadap kecenderungan anak. Lebih luas lagi, dalam hal pendidikan, kurikulum sekolah maupun perguruan tinggi sudah terintegasi untuk menjaga fitrah sang anak.

Interaksi pun dijaga sesuai ketentuan syariat, negara wajib menjaga aurat dan pergaulan yang berbeda jenis maupun yang sama gendernya semua diatur. Rasulullah saw. bersabda, "Tidak boleh bagi seorang laki-laki melihat aurat laki-laki dan wanita melihat aurat wanita. Dan tidak boleh seorang laki-laki dengan laki-laki dalam satu selimut dan wanita dengan wanita lainnya dalam satu selimut." (HR Muslim).

Konten-konten beraroma interaksi yang menyimpang seperti L68T, akan negara tindak tegas dibarengi dengan sanksi yang diberikan negara atas pelaku penyimpangan. 

Rasulullah saw. bersabda, "Siapa saja yang kalian jumpai melakukan perbuatan kaum Nabi Luth as., maka bunuhlah pelaku dan pasangannya." (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah)

Konsekuensi yang diterima pelaku homoseksual adalah hukuman mati, sedangkan untuk lesbi dan perilaku menyimpang lainnya ditentukan oleh Khalifah dalam sistem Islam. 

Ketegasan ini yang membuat Islam dipenuhi dengan suasana ketakwaan, keimanan serta ketakutan ketika melanggar ketentuan syariat pada waktu seseorang melakukan aktifitas, berpikir sebelum berbuat. Dengan hukuman yang tegas dan membuat jera pelakunya, segala bentuk kemaksiatan akan tertangani dengan baik. 

Dengan begitu muncul tiga pilar dalam masyarakat dengan individu yang bertakwa, tidak bisa diam dengan kerusakan serta level negara dalam menjaga fitrah rakyatnya.

Maka sangat mudah mewujudkan sistem sosial yang bebas penyimpangan dan senantiasa dilingkupi dengan ketaatan. (*)



×
Berita Terbaru Update